Selama dua hari (19-20 Oktober 2013) di Tondei
Minahasa Selatan para budayawan, seniman, sastrawan, sejarawan,akademisi,
jurnalis dan pemerhati bahasa berkongres membahas sejarah perkembangan dan
upaya pembinaan serta pelestarian Bahasa dan Sastra Manado.
Akhir pekan itu membuat
Balai Pertemuan Umum wanua Tondei Dua kembali menjadi saksi bisu pelaksanaan
peristiwa bersejarah. Kala itu orang-orang
dari beberapa wanua di Minahasa dan Ternate, Tolitoli, Poso, Nusa Utara, Jawa, bahkan
Amerika Serikat menuju selatan Minahasa, wilayah Malesung tertua, untuk secara
serius hadir dan bicara tentang satu Bahasa yang dipakai di seantero Sulawesi
Utara dan Sulawesi Tengah tersebut. Lembaran edaran umum keluaran panitia menguraikan
dalam bahasa Manado bahwa tujuan dari kegiatan tersebut: 1) Motingkatkan/mosenae tu peran deng
fungsi bahasa deng sastra Manado yang jabentuk tu watak deng pekerti for forad
ato dofoma hidop bamasyarakat, babangsa, deng bawanua; 2) Motanam ulang tu
pande makatana (local genius) Manado for generasi muda spaya dorang lebe sopan,
pande, deng loor batindak; 3) Moberdayakan bahasa deng sastra Manado for
mokembangkan industri kreatif, kususnya lewat dunia batulis; 4) Motingkatkan tu
peran pihak yang tagate (stakeholder) for
moola tu pande makatana Manado dalang pangertian hidop global deng
multikultur. Sungguh
fenomenal!
Dalam sambutannya ketika membuka
kongres, ibu Nita Froma Lumapow sebagai Ukung Tua Tondei Satu, mengatakan,
“Kita patut berbangga dan bersyukur karna di jaman ini masih ada pemuda-pemuda
yang mau membuat kegiatan seperti ini (kongres, red). Tentu ini harus diberi apresiasi dan harus didukung
sepenuhnya. Apalagi kegiatan ini dirangkai dengan acara HUT Tondei Raya ke-100.
Kita sandiri, karna baru tapili, nyanda
tau mulai kapan ini kampung so ada. Kong sapasapa tu Ukung-ukung Tua
pertama.”
Ketika ditanya mengenai apa yang
melatarbelakangi pelaksanaan kegiatan ini, Iswan Sual yang adalah salah satu
penggerak di Sanggar Tumondei mengatakan, “Ini
Kongres Bahasa Manado I di Tondei adalah tampeleng
terhadap lembaga pembinaan bahasa SULUT yang so tatidor. Ato mungkin so mati.
Sampe skarang nyanda perna ada usaha deri dorang mo angka tu bahasa daera di
Sulut. Apalagi tu Bahasa yang torang ja pake harihari, Bahasa Manado. Padahal,
dorang wo’o pe tugas itu! Ato sto dorang sangaja spaya ini bahasa mo mati.”
Konsep Kongres Bahasa Manado
yang dihelat di salah satu desa Kecamatan Motoling Barat itu tidak seperti yang
dianggap oleh kebanyakan orang, yakni serius dan terlalu kakuh atau
membosankan. Kyapa bagitu? Ini karena
jalannya pertemuan itu pun dibarengi canda tawa dan keakraban. Bahkan diselingi
ekspresi bebas seperti baca puisi oleh Chandra Rooroh, pagelaran tarian
Kabasaran dan Patokaan dari Tuama dan wewene Tondei serta Sanggar Toar Lumimuut
FBS UNIMA, Pementasan drama monolog oleh Teater Ungu FBS UNIMA, dan pelantunan
lagu pop Manado oleh Sofyan Jimmy Yosadi cs. Selain itu awal dan akhir acara
ini juga diperkaya lagi dengan peluncuran buku Antologi Puisi dan Cirita Pende
“Tagulung” karya Yanli V. Sengkey dan “Sejarah Tondei (Keadaan Sampai Tahun
1989) karya Nyonya A.J. Bujung Moningka. Peluncuran ini disaksikan sejarawan
muda Minahasa, Bodewyn Talumewo. Dan dalam kesempatan itu Tiffany Sumangkut
selaku ketua Kerukunan Siswa Mahasiswa Tondei (KSMT) menghadiahkan Buku sejarah
kepada Media Sulut yang diwakili oleh Rikson Karundeng. Media ini dikira mewakili
khalayak ramai dan dianggap paling getol mendukung perjuangan kebudayaan kaum
muda Minahasa di Sulawesi Utara.
Setiap peserta kongres punya
kesan tentang Bahasa Manado. Selain peserta dari SULUT dan SULTENG, Ronald
Whisler dari Lembaga Penerjemahan Wycliffe, di Amerika di sela-sela penyampaian
makalanya, mengatakan bahwa, “Bahasa Manado mesti dijaga karena itu adalah
kekayaan. Salah satu suku di Afrika pernah diberikan Alkitab berbahasa Spanyol
oleh misionaris. Mereka sulit dikristenkan karena mereka mengatakan bahwa
mereka tidak mau menyembah Tuhan yang tidak bisa bicara bahasa daerah mereka.” Senada
dengan itu, Agus Pranata, seorang Jawa, sebagai salah satu aktifis perwakilan
PRD pusat, “Bahasa Manado adalah bahasa yang menunjukkan identas. Bahasa ini
menggambarkan orang Manado sebagai orang yang suka bicara lugas, langsung dan
terus terang. Tidak sama dengan bahasa lain yang justru menunjukkan strata
sosial.
Ada satu hal yang langka lagi dari
acara ini. Di sesi terakhir tidak ada penandatangan kesepakatan bersama di atas
kertas yang sifafnya mengikat. Peserta malah masing-masing diberikan kesempatan
membaca sebuah kesimpulan, komitmen atau kredo pribadi mengenai bagaimana
mengembangkan dan melestarikan bahasa dan sastra Manado.
“Torang pe kesepakatan adalah torang
nyanda sepakat ada standarisasi/pembakuan Bahasa Manado. Itu mobeking ada orang
yang mo dapa stigmatisasi ‘ini tu butul ini sala’. Torang nyanda mau mengulangi
kegagalan Bahasa Indonesia, “demikian kata Denny Pinontoan, Sofyan Jimmy Yosadi
dan Fredy Sreudeman Wowor sebagai sanggahan kepada Iswadi Sual dan Chandra
Rooroh yang mewakili kelompok yang memperjuangkan pembakuan Bahasa Manado.