MUTIARA TERABAI
[Sebuah Cerpen Oleh Iswan Sual]
Buah rambutan bergantung rapat di
tiap-tiap terung sepanjang pinggiran jalan. Mobil-mobil bergantian
mampir. Ada yang dimakan di tempat. Ada juga yang ikut dibawa dalam mobil.
Sudah tersohor bahwa buah rambutan di kampung ini rasanya manis dan kulitnya
tebal. Di kampung ini, setiap halaman rumah seolah disyaratkan menanam paling
sedikit dua pohon. Keuntungannya ganda. Selain mengurangi panas di pemukiman.
Juga memberikan tambahan penghasilan. Malahan, bukanlah lagi hanya sebagai
tambahan. Itu sudah merupakan salah satu
sumber penghasilan pokok. Maklum, tanah-tanah perkebunan warga banyak yang
sudah berpindah tangan kepada kok Ciong yang dulunya hanya pendatang dari
Tiongkok. Dulunya dia adalah tamu di desa sini. Sekarang, warga Ongkau-lah yang
menjadi tamu bahkan buruh di desanya. Percuma mencari siapa yang mesti
dipersalahkan. Tak ada faedahnya lagi.
Hemi telah lumayan lama berdiri di
tepi jalan menunggu mobil. Mau mobil penumpang atau taksi gelap, tak jadi
persoalan. Yang ada di benaknya, yang penting bisa tiba di Manado secepatnya.
Ada goresan kerisauan pada wajahnya yang mulai dimakan usia. Umurnya sudah
mendekati kepala tiga. Usia yang rawan bagi bujang lalong. Hubungan
yang telah berjalan kurang lebih empat
tahun dengan kekasih satu-satunya itu dengan sekuat tenaga dan jiwa dijaganya.
Sebab, bila lepas, tak tahulah apa dia bisa menginjak pelamin atau entah nanti.
Masa ini adalah masa kritis baginya. Umur tigapuluan akan menjadi masa paling
runyam memperoleh pendamping hidup. Tambah lagi, Hemi bukanlah teruna yang
tampan atau The Have alias berada.
Sudah sejam Hemi menunggu sambil
mengibarkan tangan ke arah setiap mobil yang lewat. Hasilnya masih nihil. Kaki
dan punggung kian terasa nyeri. Sudah lama dia curiga bahwa ada penyakit mahal
bersarang di tubuhnya. Tapi, enggan dia memeriksakan. Cuma menambah beban
pikiran, pikirnya. Tiba-tiba mobil berplat hitam berhenti agak jauh. Dia pun
berlari menyusul mobil yang sementara dimundurkan.
“Mnado?” tanyanya begitu tiba di
jendela sopir.
Anggukan kecil dari sopir berwajah
agak serem itu menyebabkan dia cepat-cepat membuka pintu. Keudikkannya membuat
pintu agak lama menyambutnya. “Oto skarang banya smosis,” gerutunya dalam hati.
Hanya tiga penumpang dalam kendaraan mewah itu. Pasangan suami istri. Atau,
bisa juga pasangan hugel. Di bangku kedua ada seorang anak. Seumuran SD
kalau tidak salah taksir. Hemi melemparkan senyum kepada anak kecil itu.
Tanggapannya hanya dingin saja.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang.
Itu tandanya sopir masih mengharapkan ketambahan penumpang. Terasa lama mobil
berwarna janda itu melewati kampung-kampung di pesisir pantai. Untung
saja desa-desa pesisir: Boyong, Blongko dan Sapa’ menawarkan panorama laut yang
mempesona. Pantai berkelok-kelok dengan pasir hitam, bebatu besar yang lonjong
dan kerikil halus yang bertaburan sanggup mengusir penat kala sang teruna
melontarkan pandangan ke arah pantai dan laut. Ada sejuk dan lengang lembut
menambat di kalbu. Di ujung bibirnya terlukis senyum. Sesekali terdengar dia
menarik nafas untuk menikmati udara dan suasana ramahnya alam.
Mobil tiba-tiba berhenti lagi di desa
Radey. Dua orang gadis, terlihat seperti anak kuliahan naik ke mobil. Mereka
duduk berdempetan dengan Hemi. Suasana menjadi sedikit riuh. Gadis-gadis ini
doyan bergosip rupanya.
“Satu le di muka om, cuma sratus
meter dari sini!” kata salah satu gadis
yang baru menghempaskan badan di atas jok mobil. Ada muncul rasa
penasaran dalam benak Hemi. Dia bertanya-tanya kira-kira seperti apa rupa gadis
di jarak seratus meter di depan. Dia terkeke sendiri memikirkan alasan kenapa
muncul pertanyaan itu dalam otaknya. Tak lama kemudian di sebelah kanan tampak
seorang gadis membelakangi kami. Tubuhnya ramping dan molek. Kulit putih mulus.
Rambut panjang agak pirang tapi alami. Cukup untuk membuat Hemi bergidik. Meski
belum tahu tentu keadaan wajah gadis itu sesungguhya. Gadis itu naik dan duduk
tepat di sebelah Hemi. Sekilas, terlihat sewaktu dia menaruh kaki pertama di
tubuh mobil, gadis itu menarik. Tapi hanya sekilas. Hemi sudah pasti tak berani
tarukira benar-benar. Khawatir nanti dikata-katai si gadis rupawan itu.
Sudah itu, mobil pun mulai meluncur dengan kecepatan melebihi sebelumnya.
Walau tak ada keperluan di ponsel,
Hemi kelihatan sibuk. Mungkin gugup berdempetan dengan si gadis. Bau harum yang
masuk ke hidung bak obat penggoda yang mendesak agar segera dia menoleh demi
melihat dengan seksama wajah gadis yang sudah bersentuhkulit dengannya. Tapi,
hingga kini Hemi tak memiliki keberanian terbilang. Ada pepatah Inggris
mengatakan “Faint heart never won a fair lady”. Itupun tak sanggup membangkitkan
semangat juangnya. Hemi memang penakut. mana bisa dia dapat gadis
cantik!
“Roti?” Hemi memalingkan wajah
tergesa ke sumber bunyi suara yang indah itu. Lama berhenti di depan wajah
gadis yang ternyata sangat rupawan tersebut. Dan terlihat gamblang umurnya
masih belasan. Perlahan wajahnya kembali ke posisi semula setelah membuat gelengan kecil plus senyum sebagai
umpan balik terhadap tawaran gadis itu. Ingin sekali memberi kesan baik.
Sebenarnya, mau sekali dia menerima roti dari gadis itu. Tapi baginya, menatap
wajah malaikat seksi lebih utama daripada mengambil sekerat roti. Ada sesal
dalam hati karena menolak tawaran gadis itu. Namun, rasa senang menggunung
karena nampak ada pengertian di wajah gadis itu.
“Oh ya, kita pe nama Mutiara. Pangge
jo Tiara,” kata gadis itu lagi. Hemi menyebut nama sendiri setelahnya. Sayangnya
terkesan agak dingin. Itu adalah hal terbodoh yang pernah dia lakukan. Mencoba
mempertahankan strategi tarikulur yang dungu itu tanpa mempertimbangkan
keadaan.
Saling sentuh tak bisa dihindarkan. Kulit
mutiara berasa lembut. Rasa ingin memiliki membesar di hari Hemi. Tapi,
mungkinkah pertemuan yang terjadi dalam mobil ini akan melangkah ke jenjang
sebagaimana yang dikehendaki Hemi.
Entahlah. Hemi hanya bisa berharap. Sebab, belum ada kisah cinta di dunia nyata
seperti itu. Mobil terus berlari menyusuri pinggiran pantai hingga memasuki
kota Amurang. Mobil sedikit melambat ketika sampai di pusat kota. Ojek-ojek
yang sembarang menyilang membuat berkendara di sini berbahaya. Bahkan
troatoarpun diserobot. Bendi-bendi kini sudah jarang terlihat di sini.
Semenjak ada kebijakan dan peraturan dari pemerintah daerah, kendaraan
tradisional murah nan mungil itu kian tersingkir. Padahal itu adalah daya tarik
kota Amurang selain kue dodol dan bageanya. Kenapa ya,
pembangunan kini identik dengan penggusuran dan peniadaan sesuatu yang
tradisional dan manual. Aparat kita makin berkarakter. Kreatifitas masyarakat
dibelunggu. Produk luar disanjung-sanjung. Aneh! Negeri kita banyak impor
sampai-sampai hasil bumi kita membusuk di pasar.
“Nda war ni pemerenta ini,” keluh
Hemi.
Begitu keluar dari kota bersuhu panas
itu, mobil meluncur cepat ke Manado. Lengan Hemi dan Mutiara makin mesra. Rasa
kantuk menyerang semua gadis di dalam mobil. Dua di antaranya malah sudah
pulas. Sampai-sampai mereka tak sadar buah dada terumbar karena kaos melorot.
Mutiara enggan tidur. Takut akan menggangguku dengan plantungan kepalanya.
Sikap dingin Hemi membuat Mutiara kini mulai agak menjaga jarak. Rasa sesal
timbullah di hati Hemi. Sampai mereka
tiba di Manado, di antara mereka, tidak terjadi percakapan pertemanan
apalagi yang sedikit romantis. Mereka turun di halte yang sama. Hemi pun gengsi
bicara. Kalau mau bilang karena dia setia kepda pacarnya, itu keliru. Karena
hatinya sudah menyeleweng sejak di Radey tadi.
Mutiara dan teman-teman gadisnya
ditinggal tanpa pamit atau basa-basi oleh Hemi. Di seberang jalan, walau
remang-remang, terlihat mereka masih saja di halte. Entah karena bis belum
datang atau karena Mutiara masih ingin melihat Hemi yang terpaut lima meter di
seberang jalan darinya. Gelisah melanda hati Hemi saat beberapa kali mereka
bertatapan. Berulangkali senyum terlontar dari seberang jalan. Dan, Hemi terlambat
membuat keputusan. Ketika mencapai halte dimana Mutiara tadinya berdiri, bis
yang ditumpangi Mutiara telah ngebut menuju Pasar Ampalima. Mereka hanya saling
menatap sesal. Tapi ada harap, moga di tempo lain bisa bersua lagi. Malam yang
berbintang kini seolah pekat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar