Rabu, 31 Oktober 2012

MUTIARA TERABAI

MUTIARA TERABAI
[Sebuah Cerpen Oleh Iswan Sual]

Buah rambutan bergantung rapat di tiap-tiap terung sepanjang pinggiran jalan. Mobil-mobil bergantian mampir. Ada yang dimakan di tempat. Ada juga yang ikut dibawa dalam mobil. Sudah tersohor bahwa buah rambutan di kampung ini rasanya manis dan kulitnya tebal. Di kampung ini, setiap halaman rumah seolah disyaratkan menanam paling sedikit dua pohon. Keuntungannya ganda. Selain mengurangi panas di pemukiman. Juga memberikan tambahan penghasilan. Malahan, bukanlah lagi hanya sebagai tambahan.  Itu sudah merupakan salah satu sumber penghasilan pokok. Maklum, tanah-tanah perkebunan warga banyak yang sudah berpindah tangan kepada kok Ciong yang dulunya hanya pendatang dari Tiongkok. Dulunya dia adalah tamu di desa sini. Sekarang, warga Ongkau-lah yang menjadi tamu bahkan buruh di desanya. Percuma mencari siapa yang mesti dipersalahkan. Tak ada faedahnya lagi.
Hemi telah lumayan lama berdiri di tepi jalan menunggu mobil. Mau mobil penumpang atau taksi gelap, tak jadi persoalan. Yang ada di benaknya, yang penting bisa tiba di Manado secepatnya. Ada goresan kerisauan pada wajahnya yang mulai dimakan usia. Umurnya sudah mendekati kepala tiga. Usia yang rawan bagi bujang lalong. Hubungan yang  telah berjalan kurang lebih empat tahun dengan kekasih satu-satunya itu dengan sekuat tenaga dan jiwa dijaganya. Sebab, bila lepas, tak tahulah apa dia bisa menginjak pelamin atau entah nanti. Masa ini adalah masa kritis baginya. Umur tigapuluan akan menjadi masa paling runyam memperoleh pendamping hidup. Tambah lagi, Hemi bukanlah teruna yang tampan atau The Have alias berada.
Sudah sejam Hemi menunggu sambil mengibarkan tangan ke arah setiap mobil yang lewat. Hasilnya masih nihil. Kaki dan punggung kian terasa nyeri. Sudah lama dia curiga bahwa ada penyakit mahal bersarang di tubuhnya. Tapi, enggan dia memeriksakan. Cuma menambah beban pikiran, pikirnya. Tiba-tiba mobil berplat hitam berhenti agak jauh. Dia pun berlari menyusul mobil yang sementara dimundurkan.
“Mnado?” tanyanya begitu tiba di jendela sopir.
Anggukan kecil dari sopir berwajah agak serem itu menyebabkan dia cepat-cepat membuka pintu. Keudikkannya membuat pintu agak lama menyambutnya. “Oto skarang banya smosis,” gerutunya dalam hati. Hanya tiga penumpang dalam kendaraan mewah itu. Pasangan suami istri. Atau, bisa juga pasangan hugel. Di bangku kedua ada seorang anak. Seumuran SD kalau tidak salah taksir. Hemi melemparkan senyum kepada anak kecil itu. Tanggapannya hanya dingin saja.
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Itu tandanya sopir masih mengharapkan ketambahan penumpang. Terasa lama mobil berwarna janda itu melewati kampung-kampung di pesisir pantai. Untung saja desa-desa pesisir: Boyong, Blongko dan Sapa’ menawarkan panorama laut yang mempesona. Pantai berkelok-kelok dengan pasir hitam, bebatu besar yang lonjong dan kerikil halus yang bertaburan sanggup mengusir penat kala sang teruna melontarkan pandangan ke arah pantai dan laut. Ada sejuk dan lengang lembut menambat di kalbu. Di ujung bibirnya terlukis senyum. Sesekali terdengar dia menarik nafas untuk menikmati udara dan suasana ramahnya alam.
Mobil tiba-tiba berhenti lagi di desa Radey. Dua orang gadis, terlihat seperti anak kuliahan naik ke mobil. Mereka duduk berdempetan dengan Hemi. Suasana menjadi sedikit riuh. Gadis-gadis ini doyan bergosip rupanya.
“Satu le di muka om, cuma sratus meter dari sini!” kata salah satu gadis  yang baru menghempaskan badan di atas jok mobil. Ada muncul rasa penasaran dalam benak Hemi. Dia bertanya-tanya kira-kira seperti apa rupa gadis di jarak seratus meter di depan. Dia terkeke sendiri memikirkan alasan kenapa muncul pertanyaan itu dalam otaknya. Tak lama kemudian di sebelah kanan tampak seorang gadis membelakangi kami. Tubuhnya ramping dan molek. Kulit putih mulus. Rambut panjang agak pirang tapi alami. Cukup untuk membuat Hemi bergidik. Meski belum tahu tentu keadaan wajah gadis itu sesungguhya. Gadis itu naik dan duduk tepat di sebelah Hemi. Sekilas, terlihat sewaktu dia menaruh kaki pertama di tubuh mobil, gadis itu menarik. Tapi hanya sekilas. Hemi sudah pasti tak berani tarukira benar-benar. Khawatir nanti dikata-katai si gadis rupawan itu. Sudah itu, mobil pun mulai meluncur dengan kecepatan melebihi sebelumnya.
Walau tak ada keperluan di ponsel, Hemi kelihatan sibuk. Mungkin gugup berdempetan dengan si gadis. Bau harum yang masuk ke hidung bak obat penggoda yang mendesak agar segera dia menoleh demi melihat dengan seksama wajah gadis yang sudah bersentuhkulit dengannya. Tapi, hingga kini Hemi tak memiliki keberanian terbilang. Ada pepatah Inggris mengatakan “Faint heart never won a fair lady”. Itupun tak sanggup membangkitkan semangat juangnya. Hemi memang penakut. mana bisa dia dapat gadis cantik!
“Roti?” Hemi memalingkan wajah tergesa ke sumber bunyi suara yang indah itu. Lama berhenti di depan wajah gadis yang ternyata sangat rupawan tersebut. Dan terlihat gamblang umurnya masih belasan. Perlahan wajahnya kembali ke posisi semula setelah  membuat gelengan kecil plus senyum sebagai umpan balik terhadap tawaran gadis itu. Ingin sekali memberi kesan baik. Sebenarnya, mau sekali dia menerima roti dari gadis itu. Tapi baginya, menatap wajah malaikat seksi lebih utama daripada mengambil sekerat roti. Ada sesal dalam hati karena menolak tawaran gadis itu. Namun, rasa senang menggunung karena nampak ada pengertian di wajah gadis itu. 
“Oh ya, kita pe nama Mutiara. Pangge jo Tiara,” kata gadis itu lagi. Hemi menyebut nama sendiri setelahnya. Sayangnya terkesan agak dingin. Itu adalah hal terbodoh yang pernah dia lakukan. Mencoba mempertahankan strategi tarikulur yang dungu itu tanpa mempertimbangkan keadaan.
Saling sentuh tak bisa dihindarkan. Kulit mutiara berasa lembut. Rasa ingin memiliki membesar di hari Hemi. Tapi, mungkinkah pertemuan yang terjadi dalam mobil ini akan melangkah ke jenjang sebagaimana yang dikehendaki  Hemi. Entahlah. Hemi hanya bisa berharap. Sebab, belum ada kisah cinta di dunia nyata seperti itu. Mobil terus berlari menyusuri pinggiran pantai hingga memasuki kota Amurang. Mobil sedikit melambat ketika sampai di pusat kota. Ojek-ojek yang sembarang menyilang membuat berkendara di sini berbahaya. Bahkan troatoarpun diserobot. Bendi-bendi kini sudah jarang terlihat di sini. Semenjak ada kebijakan dan peraturan dari pemerintah daerah, kendaraan tradisional murah nan mungil itu kian tersingkir. Padahal itu adalah daya tarik kota Amurang selain kue dodol dan bageanya. Kenapa ya, pembangunan kini identik dengan penggusuran dan peniadaan sesuatu yang tradisional dan manual. Aparat kita makin berkarakter. Kreatifitas masyarakat dibelunggu. Produk luar disanjung-sanjung. Aneh! Negeri kita banyak impor sampai-sampai hasil bumi kita membusuk di pasar.
“Nda war ni pemerenta ini,” keluh Hemi.
Begitu keluar dari kota bersuhu panas itu, mobil meluncur cepat ke Manado. Lengan Hemi dan Mutiara makin mesra. Rasa kantuk menyerang semua gadis di dalam mobil. Dua di antaranya malah sudah pulas. Sampai-sampai mereka tak sadar buah dada terumbar karena kaos melorot. Mutiara enggan tidur. Takut akan menggangguku dengan plantungan kepalanya. Sikap dingin Hemi membuat Mutiara kini mulai agak menjaga jarak. Rasa sesal timbullah di hati Hemi. Sampai mereka  tiba di Manado, di antara mereka, tidak terjadi percakapan pertemanan apalagi yang sedikit romantis. Mereka turun di halte yang sama. Hemi pun gengsi bicara. Kalau mau bilang karena dia setia kepda pacarnya, itu keliru. Karena hatinya sudah menyeleweng sejak di Radey tadi.
Mutiara dan teman-teman gadisnya ditinggal tanpa pamit atau basa-basi oleh Hemi. Di seberang jalan, walau remang-remang, terlihat mereka masih saja di halte. Entah karena bis belum datang atau karena Mutiara masih ingin melihat Hemi yang terpaut lima meter di seberang jalan darinya. Gelisah melanda hati Hemi saat beberapa kali mereka bertatapan. Berulangkali senyum terlontar dari seberang jalan. Dan, Hemi terlambat membuat keputusan. Ketika mencapai halte dimana Mutiara tadinya berdiri, bis yang ditumpangi Mutiara telah ngebut menuju Pasar Ampalima. Mereka hanya saling menatap sesal. Tapi ada harap, moga di tempo lain bisa bersua lagi. Malam yang berbintang kini seolah pekat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar