Sebuah
catatan perjalanan pencarian situs pernikahan Toar dan Lumimuut
Oleh Iswan
Sual
Kamis, 9 Mei 2013
Curah hujan
rintik-rintik ditemani udara dingin yang menusuk tulang tak sanggup mencegah
kehendak beberapa pemuda menelusuri jejak-jejak kaki leluhur mereka. Jejak-jejak
kaki Makarua Siow[2].
Rayuan belaian angin dan godaan kehangatan selimut tak mampu menjadi penghalang
tekad yang sudah bulat. Pun kabut yang menutup langit tak kuasa mengurung niat enam
teruna anggota Sanggar “Tumondei” Minahasa Selatan (STMS) ini. Tas punggung
(carrier) disarati bekal seadanya telah siap dipikul. Termasuk lentera dan
sebotol minyak tanah untuk digunakan sebagai pemantik api karena pastilah
sangat sulit mendapatkan kayu kering di musim hujan.
***
Pukul 12.15
kaki-kaki yang masih kuat beralas sandal jepit mulai menapaki jalan basah dan
agak licin. Tak butuh waktu lebih dari semenit kini mereka telah memunggungi
Aer Tondei[3]
menuju perkebunan Selderei. Medan menjadi sedikit mudah bagi kami sehingga
perjalanan tak begitu menguras tenaga. Di tanah yang agak datar itu kami
mendapati sebuah kotak yang terbuat dari semen setinggi kira-kira 4 meter. Dari
prasasti yang menempel pada tubuhnya tahulah kami bahwa itu adalah bak
penampung air yang dibuat dengan dana PPK tahun anggaran 2006. Secara
bergantian aku dan Iswadi Sual mengambil gambar dengan kamera digital kami.
Sembari melangkah kami berdiskusi tentang beberapa jenis rumput yang memiliki
khasiat untuk menyembuhkan luka dan menambah stamina atau memulihkan kesehatan.
Diantaranya rumpu membe’, rumpu macang, bunga takuti, sayor kenal, leilem, tu’is, mayana dan kendem. Pada waktu giliranku untuk
menjelaskan, ada yang mendengar secara serius ada juga yang menanggapi dengan
balik bercanda. Gelak tawa pun pecah sampai mengusik burung-burung yang
bertengger di dedaunan pohon cengkeh yang kelihatan elok dan siap untuk
dipanen. Mungkin tak banyak. Namun dengan harga yang tinggi (Rp 180.000) sudah
lumayan untuk mencukupi kebutuhan makan beberapa hari. Harga komoditi selalu
naik bila pasokannya sedikit. Yang beruntung adalah petani yang menyimpan hasil
panen dan menunggu hingga harga melambung tinggi. Bagi kami, hal itu sukar
dilakukan. Bahkan kadang buahnya sudah laku terjual sebelum dipanen. Terpaksa
kami berhutang karena tuntutan kebutuhan sering tak bisa ditolak.
“Lihatlah
pohon mangga di sana,” semua mata tertuju pada pohon besar dan menjulang tinggi
ke langit, “di bawah pohon itu: Tonaas Muntuuntu, Wongkar, Timporok dan Sual
mendirikan terung[4]
ketika mereka sedang menunggu bunyi burung manguni sebagai jawaban terhadap
pertanyaan dimana tempat yang paling layak untuk didirikannya sebuah
perkampungan yang sekarang kita namakan Tondei,” kataku sambil berjalan dengan
nafas terengah-engah. Dahi Yanli Sengkey tampak mengerut ketika otaknya
mengolah informasi yang kuberikan. Sedangkan Billy Ompi dan Glendy Wongkar.
Hanya Rianto Wongkar dan Iswadi yang tak menunjukkan ekspresi yang berkesan.
Barangkali informasi itu sudah bukan hal yang baru buat mereka. Di titik dimana
kami berdiri terlihat Lolombulan yang berdiri megah – menantang jiwa
petualangan kami. Semangat untuk segera merasakan suasana hutan belantara. Ini
membuat tanjakan yang nyaris sejauh 3 km terasa cepat terlalui. Otot-otot yang
tadinya mengeras menjadi lemas dan tenang lagi tatkala kami tiba di kali di
perkebunan Rarem. Dengan menggunakan tangan kami meneguk airnya yang sedingin
es. Raga dan jiwa digenangi kesejukan
yang memanjakan.
Perjalanan
kami lanjutkan sampai kami berada di ketinggian dimana kami dapat melihat
penggunungan Sinonsayang ada bawah kami. Ada rumah sederhana berdiri di
tengah-tengah kebun yang disarati pohon cengkeh jenis Zanzibar. Pohon yang
berdaun lebat dan elok dipandang mata. Kami melepas lelah sekitar sepuluh menit
di rumah itu. Sebuah sepeda motor terparkir disampingnya. Ada pula tetengkoren[5]
bergayut. Kini fungsinya tak begitu dipahami orang karena telah didepak oleh
kehadiran telepon genggam, ipad dan
lain sebagainya. Keluar kalimat penyesalan dari mulut kami saat kami keluar
dari halaman rumah yang kami singgahi. Betapa bodohnya kami. Tidak mengisi air
di wadah yang kami bawah. Apa yang akan kami minum dan dengan apa kami akan
memasak nasi? Tanjakan menuju puncak sudah di depan mata. Kami berharap masih
ada sungai atau sumber air yang akan kami lewati. Di persimpangan jalan kami
bertemu dengan seorang ma’gula[6]
yang baru pulang remoyor[7]
atau keme’et[8].
Dia menunjukkan arah kemana kami harus pergi. Begitu senangnya kami karena
dia muncul saat dibutuhkan. Glendy sebagai penunjuk jalan mulai kami ragukan
pengetahuannya akan rute ke puncak Lolombulan. Rupanya dua tahun cukup
membuatnya tak akrab lagi dengan bekas jejak kakinya.
Hanya dua
belokan dari titik dimana kami bertemua seorang ma’gula kami bertemu pula seorang ma’gula yang lain di tampagula
– pabrik pembuatan gula. Aroma gula aren begitu mengundang. Kelima teruna
langsung berkerumun di rumping[9].
Panas tak mereka pedulikan. Si pemilik pun enggan melarang. Sudah menjadi
semacam keyakinan bahwa seorang ma’gula
tak boleh pelit agar gula yang dihasilkan kian bertambah. Hanya aku yang seolah
tak berminat. Sibuk mengabadikan tindak-tanduk teman-teman yang tengah menikmat
gula kenyal dan masih lengket itu. Rasa kagum si pembuat gula aren itu terpatri
di wajahnya. Dia memberi petunjuk arah jalan ke puncak gunung yang berjumlah
dua itu. Termasuk rute mana yang punya air dan yang tidak punya.
Kami
mengambil jalan di sebelah kanan karena harus mengambil air. Dua belanga dan
satu ember aluminium yang kami temukan di sebuah gubuk yang telah lama rubuh.
Jalanan yang menanjak membuat kami semakin tertantang. Agak mudah bagi kami mengenal jalanan ke puncak karena
ditandai dengan jerat-jerat tikus yang berjejer di pinggirannya sepanjang
jalan. Barisan jerat tikus itu mirip tembok Cina. Kadang-kadang kami menemui
jalan butuh dan tersesat. Bila rerumputan menjalari pohon rumbang yang
melintang di jalan. Namun, tak lama kemudian kami sudah bisa kembali ke jalan
yang sebenarnya. Secara bergantian aku, Rianto dan Glendy dengan parang
menebang kayu yang menghalang di depan untuk membuka jalan. Bukan hanya
beberapa kali kami terantuk pada duri. Yang paing sadis adalah duri dari batang
pohon rotan. Teriak-teriakan histeris akibat tusukan duri melengking di
pendengaran. Yang mendengar selalu kaget dan datang menawarkan pertolongan.
Kalau tidak parah, hanya gelak tawa yang mereka bawa. Beberapa kali kami
berhenti untuk beristirahat sembari menunggu salah satu dari kami membuka
jalan. Dua kali kami bertemu dengan kawanan yaki
– monyet berjambul dan tanpa ekor. Jenis monyet yang sudah langkah dan
hanya ada di hutan Sulawesi. Jumlah dua kelompok itu sekitar 15 ekor. Karena
mungkin sering diburu, monyet-monyet itu terlampau menjaga jarak dengan kami. Kamera
digitalku tak diberikan sedikit waktu untuk mengambil gambar. Semakin dipanjat,
Lolombulan kian gelap. Kampung Tondei pun sukar dilihat. Ditambah pepohonan
yang lebat merintang.
Tubuh
terasa letih dan matahari mulai terbenam. Jam tanganku kini menunjukkan pukul
16.30. Sesuai kesepakatan di awal perjalanan bahwa pada waktu itulah kami harus
berhenti dan membangun tenda. Tepat di tempat yang agak landai aku langsung
mengarahkan teman-teman untuk berhenti dan segera mengeluarkan terpal dan
parang. Saya, Glendy, Yanli dan Iswadi menangani pembuatan tenda. Sedangkan
Rianto dan Billy membuat api untuk menanak nasi. Hari belum gelap ketika tenda
selesai dibangun. Makanan pun siap dicerna. Karena tidak tersedia piring dan
sendok, kami makan secara bergantian. Dimulai dari Yanli dan diakhiri oleh
Rianto. Burung-burung memperdengarkan bunyi yang sedikit menakutkan. Bicara
kami kian dipelankan. Orang tua sudah mengingatkan bahwa tak boleh ada teriakan
di Lolombulan. Karena kabut akan melingkupi kami hingga kami tak dapat melihat
wajah teman kami yang ada di dekat. Itu bukan mitos atau dongeng. Itu cerita
benar. Dan kuanggap itu sebagai suatu pandangan dan ajakan kepada pengunjung
hutan agar sopan dan menghargai alam. Sebab bukan hanya kita yang ada di situ.
Kita diajar untuk tak mengusik ketentraman setiap makhluk di dalam hutan.
Lentera
yang kami bawa sudah cukup menjadi penerang. Lampu-lampu yang berkedip di
kejauhan turut menghias pemandangan di malam hari. Mungkin lampu-lampu itu datang
dari kampung Tiniawangko dan Boyong Atas. Dingin meliputi kami. Semua pakaian
hangat dikenakan. Namun tetap terasa dingin. Semua menggigil. Cerita lucu yang
dibawakan Billy sedikit mengusir rasa dingin. Selanjutnya kami terus memeluk
tubuh kami. Pun ketika kami sedang mempelajari Anggaran Dasar dan Anggaran
Rumah Tangga organisasi kami. Secara bergilir kami berbicara membahas pasal
demi pasal dan ayat demi ayat undang-undang wadah dimana kami berhimpun. Di
atas tikar dan kasur kecil kami berenam terbaring kaku menahan hembusan angin
yang menusuk tulang. Yang paling tidak nyaman adalah Glendy dan Rianto. Itu
karena mereka tidur paling tepi. Dan ternyata semua mengalami yang namanya
susah tidur akibat dihantui perasaan takut. Imajinasi kreatif kami menghadirkan
suasana angker yang menakutkan. Tapi kami semua berusaha mengendalikan rasa
takut. Justru yang paling kami takuti adalah longsor dan ular piton. Maklum,
letak tenda kami di kemiringan. Dan berbahaya.
Semua susah
tidur pulas. Giliran jaga malam tidak berlaku. Akulah satu-satunya yang
bertugas. Secara jujur, aku orang yang paling khawatir tentang keselamatan
kami. Karena akulah yang tertua. Meski semua kami sudah dewasa, orang-orang tua
kami bisa menyalahkan saya bila terjadi sesuatu pada kami. Maka dari itu aku
selalu terjadi setiap kali terdengar suara yang mencurigakan di sekitar.
Telepon selular kuhidupkan acapkali untuk mengetik status di jejaring sosial,
Facebook, atau mengirimkan pesan singkat ke pacarku. Sebagai jaga-jaga bila
sesuatu terjadi. Orang lain di luar sana bisa mengetahui dimana kami. Walaupun
sepanjang perjalanan pohon-pohon kuikat dengan pita merah sebagai penanda untuk
mempermudah pencarian.
Jumat, 10 Mei 2013
Sekitar
pukul 07.00 kami bangun dan langsung membereskan tenda untuk melanjutkan
perjalanan. Betapa kagetnya kami mendapati sandal Glendy hampir habis dilahap
bara ap!. Tapi apa mau dikata. Kelengahan telah berlaku. Dan percuma berharap
kembalinya waktu. Agar itu bisa diantisipasi.
Tak ada
minum pagi atau sarapan. Dengan tenaga yang segar kami mulai lagi penjelajahan.
Duri tebal siap menghalang tapi parang siap pula menerjang. Sabetan parang
Rianto melapangkan lorong di tengah hutan. Obsesi untuk mencapai puncak sudah
tak tertahan lagi. Keringat bercucuran membasahi pakaian yang telah kami
kenakkan sedari sehari sebelumnya. Sejam kemudian kami tiba di puncak.
Tanda-tanda kehidupan babi hutan nampak di tanah. Ada bekas dimana mereka tidur
dan bermain. Semakin jauh kami melangkah semakin bagus jalannya. Berbentuk
seperti parit. Kami tahu itu bukan selokan air melainkan jalan pulangan[10].
Para penebang kayu liar menggunakan jalan ini untuk mengangkut kayu. Penebang
liar bukan hanya masyarakat biasa. Ada juga pejabat-pejabat tinggi yang
menggunakan jasa kerabat di kampung. Biasanya mereka kebal hukum. Tak ada
resiko. Lain halnya dengan masyarakat biasa yang sewaktu-waktu bisa dibekuk dan
dilemparkan ke penjara.
Kami
memutuskan berhenti dan beristirahat di tempat yang agak datar. Nampaknya
tempat itu sering dijadikan tempat tenda. Di dekat situ ada sebuah lolombeng[11].
Lokasinya persis di simpang tiga. Segita: dari Tondei, bila ke kanan,
menuju Raanan Baru dan bila kekiri, menuju Malola. Karena cuaca baik kami tidak
mendirikan tenda. Perut mulai berteriak. Kami pun mulai mengumpulkan ranting
dan cabang kayu. Disitu kami membuat api untuk memasak nasi dan ikan kaleng. Udara
di situ terasa sangat sejuk. Suara burung kakatua dan titicak turut memeriahkan keadaan. Canda tawa berulang kali
tercipta. Kuwujudkan ungkapan perasaan dengan mengetik status di jejaring
sosial. Ada lebih dari lima orang yang mengklik tanda jempol. Mungkin mereka
suka. Suka karena mengerti bahasa Tontemboannya. Atau mungkin cuma asal klik
saja. Sinyal telepon selular amat bagus. Tidak seperti di kampungku. Seandainya
para monyet punya telepon genggam, tentu mereka lebih terinformasikan dibanding
kami yang tinggal di belakangnya.
Sontak
salah satu dari kami berteriak histeris. Kami bingung. Barangkali ada yang kena
sabetan parang atau tertusuk duri. Atau terperosok ke dalam lolombeng. Ternyata tidak. Rasa geli
melihat linta menempel di kaki. Itulah yang membuat Billy berteriak. Karena
panik dia mencabut linta dengan kasar. Akibatnya kakinya robek dan mengeluarkan
banyak darah. Yanli dan aku juga diserang linta. Iswadi menganjurkan agar tidak
menarik linta dengan paksa. Cukup mengelusnya dengan manja maka binatang
kenyal, lembut dan berwarna coklat kehitam-hitaman itu akan lepas dan jatuh
dengan sendirinya. Setelah kami coba, ternyata dia benar! Aku terheran-heran. Darimana dia mendapat informasi cara jitu
melepas linta? Kami meninggalkan ember dekat perapian lalu melanjutkan
perjalanan menuju puncak gunung lain. Lolombulan ternyata bukanlah gunung
dengan puncak tunggal. Ternyata ada tiga gunung utama. Duanya lagi bernama
Rakowulan dan Lincewulan. Informasi ini kuperoleh sewaktu kami mampir di desa
Malola. Ferlan Liow, anak kepala desa Malola, memberitahu kami.
Tidak sukar
kami meneruskan perjalanan. Sekali lagi dodeso,
jerat-jerat (dotikus yang berjejer di jalan menjadi pemandu. Perlu juga aku
sampaikan bahwa jerat yang kami temui banyak macamnya. Mereka adaah ta’ang, ruyang, kapiring, lompit, torak dan litau. Lima jerat pertama digunakan
untuk menangkap tikus. Yang disebut terakhir adalah jerat untuk menangkap babi
hutan. Untuk menangkap burung biasanya yang digunakan adalah leka’. Kelelawar ditangkap dengan tetempang. Dibantu dengan menara, tempat
dimana seorang akan berdiri membentangkan jaring. Begitu kelelawar menabrak jaring,
sekonyong-konyong dan cekatan orang itu akan menutup jaringnya. Kami melihat
satu menara dan gubuk dimana pencari kelelawar biasanya berpangkalan. Disitu pula kembali kami melihat bekas jalan
orang pernah gunakan untuk menarik, dengan menggunakan sapi dan pulangan, kayu-kayu yang telah diolah.
Setelah
melewati jalan yang agak curam berbatu (kepal,
Tontemboan), kami menemukan sungai kecil. Beberapa kali tegukan sudah sangat
memuaskan tenggorokan yang tadinya sudah kering. Botol yang sudah kosong kami
isi penuh dengar air segar, seperti baru dikeluarkan dari kulkas. Kami
mengambil jalan yang agak menanjak sudah itu. Kira-kira seratus meter jalannya
nyaman untuk dilalui. Tampak rute itu sering dilewati. Di tempat kami berpijak pemandangan
gunung-gunung lain di belakang kami. Desa Tiniawangko dan Boyong Atas yang
seharusnya terlihat, sama sekali tak tampak karena tertutup kabut yang tebal.
Percuma mengambil gambar dengan kamera, pikirku. Sudah itu, kami mengambil
jalan yang sudah tertutup rotan berduri dan belukar tebal. Rianto dengan
parangnya yang luamayan tajam memimpin di depan. Berkali-kali ada jedah. Capai
begitu menguasai tubuh kami. Hampir setiap 50 meter kami berhenti sejenak.
Sejam kemudian kami tiba di puncak gunung yang lain. Puncak tertinggi
Lolombulan. Setidaknya itu menurut informasi yang kami terima dari orang yang
sudah bisa melanglangbuana di hutan yang lebat itu. Tapi sayang sungguh sayang.
Kami tak bisa berlama di puncak dengan darat yang tak luas. Dinginnya menusuk
tulang. Tambah lagi linta-linta kian merajalela. Sangat cepat mereka memanjat
tubuh kami. Linta-linta itu hampir saja masuk telinga saya. Kaki yang tak
terbalut penuh dengan linta yang kian membesar ukurannya lantaran darah telah
mengenyangkan mereka. Di puncak itulah aku tahu bahwa ada dua jenis linta di
Lolombulan. Linta yang berwarna coklat kehitam-hitaman yang lambat memanjam dan
linta yang berwarna kuning kehijau-hijauan yang cepat bergerak merayapi tubuh
hingga ke bagian kepala.
Rasa geli
dan risau kehilangan banyak darah mengubah keputusan kami. Tadinya kami
berencana untuk mendirikan tenda barang sejam menikmati udara di puncak itu. Dengan
terpaksa kami mengurungkan niat itu dan langsung meluncur dengan segera ke sisi
gunung lain. Kata Glendy dengan penuh keyakinan bahwa kami sedikit lagi akan sudah
di wilayah perkebunan Malola. Semakin menurun kian banyak jalan yang
membingungkan. Untung, Glendi sang Tonaas masih mengingat rute. Jadi, setiap
kali kami tersesat selalu dengan cepat dia bisa menunjukkan jalan kembali.
Kepercayaan diri bertambah ketika kami tiba di sebuah tampa captikus. Seorang bapak menguraikan dengan gamblang rute ke
desa Malola. Dan itu sangat melegakan kami berenam. Selanjutnya, perjalanan
kami penuh dengan keindahan, kegembiraan, serta senda gurau. Pohon cengkeh dan
kelapa yang subur turut menjadi oase yang memberi kepuasan pada jiwa dan batin
kami. Lebih khusus aku.
Kadang-kadang
dari posisi kami berdiri kami bisa melihat beberapa desa yang tampak hanya
berukuran butiran jagung. Dengan penuh spekulasi kami memberi nama pemukiman
itu. “Oh yang itu Picuang, itu Wangka dan itu…..” Perkiraan kami salah. Awalnya
kami berpikir hanya dalam waktu satu jam dari tampa captikus pertama kami sudah akan menemukan Malola. Agak
sedikit menjemuhkan ketika harus mealui jalan berbatu timbul dan becek. Nyaris
semua kaki lecet dan berdarah-darah. Bahkan Yanli sampai bermohon kami berhenti
sebentar untuk mengaso karena dia menderita kena sula[12].
Beberapa pabrik captikus masih kami dapati menjelang kami memasuki desa. Mulai
dari yang berukuran besar sampai yang besar. Mulai dengan yang beratap katu utang hingga yang beratap seng.
Beberapa kali bertemu dengan warga desa Malola yang sementara bekerja atau
sementara menuju ke kebun dengan sepeda motor. Selalu sapaan ramah tampak dari
tutur dan tindak mereka.
Keterkejutan
melandaku saat kami mulai memasuki desa Malola Satu. Ada dua kuburan besar.
Semacam kuburan raja di belahan dunia Eropa. Aku terkagum-kagum melihat
konstruksi bangunanya dan berandai-berandai kalau sekiranya uang yang
dihabiskan untuk pembangunan itu bisa digunakan untuk membantu orang yang masih
hidup ketimbang untuk orang yang telah tak bernyawa. Tapi, apa mau dikata.
Pikiran seperti itu jarang menghinggapi orang-orang berharta. Biasanya semakin
kaya seseorang maka dia semakin miskin untuk memberi. Ironis!
Kami
berjalan menuruni desa. Orang-orang kampung melempari kami dengan tatapan heran
dan kasihan. Barangkali karna tampilan kami seperti gembel. Wajah keremos, pakaian kotor oleh becek dan
kulit pucat. Anak-anak yang kami sapa malah menjauh. Namun begitu kulemparkan
gasing yang kupungut dari hutan, mereka melonjak kegeringan. Lama-lama mereka
mulai membuntuti kami. Lalu mulai bercakap-cakap. Dengan sukarela juga
menawarkan bantuan untuk mengantar kami ke rumah teman kami di kampung itu. Sewaktu
di Malola Satu kami dijamu dengan kopi satu cerek. Paman Glendy sangat murah
hati. Di Malola kami mampir cukup lama di rumah teman kami yang bernama Ferlan
Liou. Ayahnya baru saja dilantik sebagai Ukung Tua[13].
Kami juga dijamu dengan kopi dan kue. Isi toples nyaris habis karena kami telah
dilanda rasa lapar yang amat. Sudah itu kami diberikan makan siang yang enak.
Menu yang sangat sesuai dengan seleraku. Keramahan keluarga Liow ini kian
kental ketika kami diantar dengan mobil pick
up menuju gua Jepang di perkebunan Tewalen (kalau tidak salah) yang
terletak hanya sekitar 300 meter dari Motoling. Namun, harapan kami masuk ke
gua pupus, sebab gua itu telah ditutup dengan beton. Betapa kecewanya kami!
Dari situ
kami melanjutkan perjalanan pulang ke kampung halaman kami. Berharap ada
kendaraan akan memberi tumpangan. Kira-kira setelah 2 km perjalanan dengan kaki
kami diberi tumpangan di kendaraan pick
up yang hendak mengantar tim sepak bola ke Raanan Baru. Dari situ pula kami
melanjutkan perjalanan dengan kaki. Sungguh beruntung dan tak disangka-sangka,
1 km kemudian mobil pick up milik
orang Tondei. Dan betapa terkejutnya ternyata sang sopir adalah teman kami yang
sehari sebelumnya telah membuat kami sedikit kesal. Dia yang membuat kami menunggu
lama sia-sia, tapi membatalkan keberangkatan bersama kami untuk menakhlukkan
puncak Lolombulan. Rasa lelah dan nyeri karena lecet pada kaki langsung hilang
begitu kami tiba di rumah. Terucap sebuah syair dari mulutku:
Lombulan
Lolombulan, kau tinggalkan sebuah lukisan sarat
kekaguman
Yang kan selalu kupandang
Cinta ku lekas bersemi dalam satu malam
Akan membekas hingga akhir zaman
Sukar dilupa
Meski duri dan belukar
Tebal melintang
Namun kuanggap itu sebagai kelakar
Lolombulan kau selalu kurindukan
Pula Rakowulan dan Lincewulan
Misteri dan keramahanmu kan
Selalu dalam hatiku terhujam
Lolombulan O Lolombulan
Yang selalu mengundang kekaguman
[1] Lolombulan
adalah salah satu gunung yang termuat dalam mitologi Minahasa. Konon, leluhur
orang Minahasa yakini Toar dan Lumimuut melangsungkan pernikahan di puncak
gunung itu dengan disaksikan bulan penuh. Lolombulan termasuk dalam area yang
dulunya disebut Malesung. Jauh sebelum nama Minahasa dilekatkan kepada
orang-orang keturunan Toar dan Lumimuut.
[2] Nama keturunan pertama Toar
Lumimuut . Secara harafiah berarti dua kali sembilan.
[3] Secara
harafiah berarti air Tondei. Terletak di desa Tondei Satu. Dahulu, sebelum
hutan masih lebat mata air ini tak pernah kering meski kemarau berkepanjangan
[4]
Gubuk
[5] Alat komunikasi tradisional
yang terbuat dari bambu. Ada lubang
hampir di sepanjang ruas. Bambu diketuk menggunakan sepotok kayu untuk
menghasilkan bunyi.
[7] Menurunkan air nira
[8] Memanen air nira. Kata ini
digunakan secara bergantian dengan kata remoyor.
[9] Wajan/belanga goreng
[10] Sebuah perkakas yang ditarik
sapi. Bentuk seperti huruf H dengan kuk tunggal. Digunakan untuk menarik kayu
yang telah diolah menjadi papan ato balok yang ditebang secara illegal.
[11] Lubang perangkap tikus
[12] Rasa sakit pada perut bila
berjalan. Biasanya disebabkan oleh banyak minum.
[13] Penulis sengaja menggunakan
istilah Ukung Tua untuk mengganti Hukum Tua karena memang sudah begitu
semestinya. Istilah Ukung terganti secara tidak sengaja oleh kata Hukum oleh
karena kesalahan kecil namun fatal.